Posted in

Kericuhan Pecah Di London Demo: 26 Polisi Terluka, Demonstran Ditangkap

London kembali menjadi saksi bisu kericuhan yang pecah dalam sebuah demonstrasi besar-besaran. Aksi protes yang awalnya berlangsung damai mendadak memanas, menyebabkan 26 personel kepolisian London mengalami luka-luka dan sedikitnya 25 demonstran ditangkap. Insiden ini menambah daftar panjang kasus bentrokan antara massa dan aparat keamanan yang terjadi di berbagai belahan dunia, mencerminkan ketegangan yang seringkali menyertai ekspresi kebebasan berpendapat.

Kericuhan di London ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, demonstrasi anti-imigran juga sempat memanas, mengakibatkan 26 polisi terluka dan 26 pedemo ditangkap. Bahkan, pada kesempatan lain, 10 orang juga ditangkap saat polisi membubarkan demo anti-lockdown. Pola serupa, di mana demonstrasi berujung pada bentrokan dan penangkapan, juga kerap terlihat di berbagai lokasi.

Pola Kericuhan dan Penangkapan di Indonesia

Situasi serupa juga seringkali mewarnai dinamika demonstrasi di Indonesia. Gelombang aksi protes, terutama pada bulan Agustus, telah berulang kali diwarnai insiden bentrokan antara massa dan aparat keamanan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, pada aksi demo tanggal 25 dan 28 Agustus saja, sebanyak 951 orang ditahan oleh polisi. Angka ini mencerminkan skala penangkapan yang masif, memicu pertanyaan mengenai prosedur dan alasan di balik tindakan tersebut.

Salah satu demo yang paling menyita perhatian adalah aksi menolak tunjangan rumah anggota DPR pada 25 Agustus. Demonstrasi ini berujung ricuh. Ketua Harian Partai Gerindra, Dasco, bahkan menyatakan bahwa tunjangan Rp 50 juta yang menjadi tuntutan demonstran akan dihentikan, menunjukkan dampak langsung dari tekanan massa. Namun, di balik keberhasilan ini, terjadi serangkaian insiden yang menimbulkan kekhawatiran.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengungkapkan bahwa pada demo 25 Agustus, 370 orang massa ditangkap oleh polisi. Penangkapan ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain. Di Semarang, LBH bahkan mencatat ratusan orang ditangkap secara sporadis, mulai dari anak SD hingga penyandang disabilitas, menunjukkan jangkauan penangkapan yang luas dan terkadang tidak pandang bulu.

Bentrokan antara massa dan polisi juga terjadi di sekitar Gelora Bung Karno (GBK), di mana sejumlah orang ditangkap dan dipukuli. Bahkan, momen penyerangan mobil polisi di DPR diduga terjadi karena kendaraan tersebut membawa pelajar yang ditahan. Insiden ini mengindikasikan adanya reaksi keras dari massa terhadap tindakan penangkapan yang dilakukan aparat.

Tidak hanya demonstran, penangkapan juga menyasar individu yang dianggap terlibat dalam pengorganisasian aksi. Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen, ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka penghasutan demo. Penangkapan ini disebut sebagai “pola berulang” setelah gelombang demo dan memicu kecaman karena dianggap “melanggar KUHAP” serta “bentuk teror untuk meredam aksi.” Polisi sendiri telah buka suara terkait penangkapan staf Lokataru ini, namun kontroversi tetap mencuat. Admin “Gejayan Memanggil” juga ditangkap di Bali, menunjukkan bahwa upaya penangkapan tidak terbatas pada lokasi demo itu sendiri.

Kewenangan Polisi dan Sorotan Publik

Tindakan represif yang kadang kala menyertai penanganan demonstrasi telah memicu sorotan tajam dari berbagai pihak. Polisi dituduh “melampaui batas” dalam mengatasi demo, dengan kekhawatiran bahwa “kewenangan membesar tanpa pengawasan berarti.” Kritik ini menyoroti perlunya keseimbangan antara menjaga ketertiban umum dan menghormati hak asasi manusia, khususnya hak untuk berekspresi dan berkumpul.

Insiden tragis juga sempat terjadi ketika kendaraan polisi melindas seorang pengemudi ojek online (ojol) hingga tewas. Peristiwa ini memicu kemarahan publik, bahkan Istana Negara meminta maaf dan tujuh polisi diperiksa. Pengemudi kendaraan taktis yang melindas korban kemudian dihukum demosi tujuh tahun, dengan permohonan maaf yang disampaikan. Kasus ini menunjukkan betapa sensitifnya penanganan massa dan potensi dampak fatal yang bisa terjadi. Di Padang, demo mahasiswa di Polda Sumbar bahkan diikuti oleh pengemudi ojol yang menuntut pertanggungjawaban polisi atas insiden tersebut.

Di sisi lain, aparat kepolisian juga menghadapi risiko dan tantangan saat mengamankan demonstrasi. Banyak personel yang terluka dalam bentrokan. Sebagai bentuk penghargaan, polisi yang terluka saat mengamankan demonstrasi di Jawa Barat mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa. Hal ini menggarisbawahi bahwa tugas pengamanan demonstrasi adalah pekerjaan berisiko tinggi bagi aparat.

Baca Juga : KBRI Canberra Imbau WNI Di Australia Waspada Di Tengah Gelombang Demonstrasi Massa

Hak Asasi dan Prosedur Hukum

Demonstrasi, sebagai bentuk penyampaian pendapat di muka umum, diatur oleh undang-undang. Pasal 28 UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan. Namun, hak ini tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi oleh undang-undang untuk melindungi hak asasi orang lain serta ketertiban umum.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, demonstrasi harus memenuhi beberapa persyaratan, termasuk pemberitahuan tertulis kepada kepolisian. Pembubaran demonstrasi hanya boleh dilakukan jika terjadi pelanggaran hukum atau membahayakan keamanan. Namun, dalam praktiknya, seringkali batas antara demonstrasi damai dan kericuhan menjadi kabur, memicu intervensi aparat.

Penangkapan terhadap demonstran juga harus mematuhi prosedur hukum yang berlaku, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penahanan harus berdasarkan bukti yang cukup dan dalam jangka waktu yang ditetapkan. Kekhawatiran muncul ketika penangkapan dilakukan secara sporadis, tanpa proses yang jelas, atau bahkan dianggap sebagai upaya untuk membungkam kritik.

Masa Depan Demonstrasi dan Hubungan Sipil-Aparat

Kericuhan di London dan serangkaian insiden di Indonesia menggarisbawahi pentingnya dialog dan komunikasi yang efektif antara demonstran, penyelenggara aksi, dan aparat keamanan. Penting bagi kedua belah pihak untuk memahami hak dan kewajiban masing-masing, serta mencari solusi damai dalam menyampaikan aspirasi.

Peristiwa-peristiwa ini juga menjadi pengingat bagi pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk terus mengevaluasi dan memperbaiki prosedur penanganan demonstrasi. Transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus menjadi prinsip utama dalam setiap tindakan. Hanya dengan demikian, kebebasan berekspresi dapat terjamin tanpa harus mengorbankan ketertiban dan keamanan publik, serta menghindari terulangnya insiden-insiden yang merugikan semua pihak.